Langsung ke konten utama

Hakekat Manusia menurut pandangan Ilmu Filsafat


MANUSIA ITU APA

Sebagai manusia, mayoritas dari  kita kadang tidak memikirkan apa itu manusia. Yang  pada hakekatnya adalah diri kirta sendiri, hanya segelintir orang saja yang memikirkan ataupun bertanya – tanya tentang hal itu. Pada dasarnya jawaban dari  pertanyaan tersebut sudah banyak sekali bermunculan dimasa lalu. 
Hakekat manusia; menurut beberapa ahli
[1]Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhanya. ( Qhiey 2010 ) ada pula pendapat lain dari seorang [2] ( Plato ) merupakan makhluk yang memiliki 3 unsur yaitu roh, nafsu, dan rasio, dimana roh merupakan kebaikan, nafsu sebagai simbol keburukan dan penggunaan kedua unsur tersebut –kemudian dikontrol dan dikendalikan oleh rasio/akal. Dengan melihat pendapat dari para ahli hakikat manusia sebenarnya adalah sesuatu yang mati yang dihidupkan oleh ruh/ jiwa sehingga dapat bergerak dengan dikendalikan oleh jiwa itu sendiri dimana kedua unsur tersebut sangat sulit untuk dipisahkan karena keterkaitanya. Oleh karnanya sesuatu yang mati lalu bergerak yang diakibatkan oleh sebuah ruh/ jiwa maka sesuatu tersebut dapat dikatakan sebagai manusia, tetapi tidak berhenti sampai disini karana ada suatu hal yang dapat memperkuat bahwa pernyataan diatas tersebut adalah manusia, hal tersebut adalah akal dan pikiran dimana jiwa berkolaborasi dengan akal dan pikiran dalam menggerakan sesuatu tersebut atau yang lebih kita kenal dengan nama badan atau jazad. Sehingga terjawab sudah pertanyaan apa itu manusia ?. Apakah jawaban itu sudah menjawab ? tentu saja belum, mengapa ? karena pada diri manusia terdapat pula nafsu seperti yang dikatakan oleh Plato. Dimana nafsu ini merupakan unsur yang ada pada manusia untuk dipenuhi memalui kehendak jiwa yang dituangkan melalui pikiran berupa keinginan – keinginan serta akan diaplikasikan atau dilakukan oleh tubuh/jazad guna memenuhi nafsu tersebut. Oleh karnanya dapat disimpulkan bahwa manusia adalah jazad yang digerakan oleh ruh/jiwa yang berkolaborasi dengan akal dan pikiran serta menghasilkan nafsu yang harus dipenuhi oleh jiwa dengan jazad sebagai alat pemenuhnya.
Akal pada manusia;
Dalam diri manusia terdapat akal yang dimana akal tersebut merupakan bagian dari jiwa yang menjadi penggerak jazad manusia itu sendiri seperti dalam kutipan sebuah buku  akal dipergunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan kita masing – masing[3]. Dalam hal ini manusia selalu mencari kebenaran yang mereka gunakan sebagai pemenuhan kebutuhan rohaninya. Ada pula kriteria kebenaran yang dibutuhkan manusia sesuai dengan kebutuhannya.  Ini sesuai dengan ilustrasi berikut ini bagi orang dewasa tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3+4= 7 sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa pernyataan tersebut adalah benar. Tapi akan lain hanya apabila pernyataan ini terjadi pada anak-anak yang belum membutuhkan pernyataan tersebut.  berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan – pernyataan sebelumnya yang dianggap benar[4]. Setelah mendapatkan kebenaran maka akan tercipta suatu kesadaran pada diri manusia yang berfungsi sebagai pengendali dari hawa nafsu yang melekat pada jiwa manusia dalam bertindak dan melakukan sesuatu dengan adanya kesadaran pada diri manusia maka akan terjadi suatu kolaborasi antara jiwa, akal, kebenaran, dan kesadaran itu sendiri yang memungkinkan manusia untuk dapat hidup berdampingan dengan manusia lainya, karena dengan adanya kolaborasi antara elemen – elemen tersebut maka perilaku atau pun pergerakan jiwa melalui tubuh manusia akan terkendali secara tersrtuktur. Kesadaran dalam hal ini adalah kesadaran moral, adapun pengertian kesadaran menurut fisuf modern  kesadaran itu adalah seperti “ ein Ruf aus mir und doch uber mich” yng artinya seperti panggilan yang timbul dari aku akan tetapi mengatasi diriku[5]. Kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri di dalam mana kita melihat diri kita sendiri sebagai berhadapan dengan baik buruk. Di situlah manusia dapat membedakan antara suatu hal yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh, meskipun apat dilakukan. Oleh karnanya manusia dapat dikatakan manusia apabila memenuhui semua unsur pendukung yang telah diulas diatas sesuai dengan kapasitas yang semestinya ada pada diri manusia itu sendiri.


[3] (Inu kencana syafiie dalam bukunya pengantar filsafat, halaman 29)
[4] (Jujun s. surlasumantri dalam bukunya filsafat ilmu sebagai pengantar popular, halaman 55 )
[5] (prof.Dr. N. Drijarkara S.J. dalam bukunya percikan filsafat, halaman 12)

Komentar